Senin, 12 Desember 2011

Eiffel-ing Love

Hari ini begitu terik. Sinar sang surya menusuk bumi tanpa ampun. Panasnya terasa hingga ujung nadi. Awanpun tak dapat mengisi absen di siang itu. Mungkin ia harus pergi menghadiri suatu acara penting.

“Tengggg,,,, Tenggggg,,,, Tenggggg,,,, “

Pertanda berakhirnya jam pelajaranpun berdengung di telinga anak SMA Tunas Bangsa. Sorak sorai kegembiraan terdengar hilir mudik menyampaikan pesan keriangan yang pernah didapat sebelumnya.

“Hari ini harus pergi ke tukang koran! Ada tugas nih“ kata Rino begitu keluar dari kelasnya. Dia adalah orang yang paling pintar sekolahnya. Dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Pekerjaan ayahnya hanya sebagai pengumpul kayu bakar. Tiap hari dia pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki sendiri setelah ditinggalkan teman perempuannya di gerbang sekolah.

“Ya, hari ini biar aku temenin kamu ke tukang koran! “ kata Ana. “ Tapi temenin aku bersihin kelas, besok aku piket kelas “ lanjutnya.

Riuk piuk masih terdengar jelas. Rino dan Ana membersihkan kelasnya. Debu dan pasir yang tergeletak pasrah di atas lantai diusir dengan sapu. Ayunan demi ayunan digerakkan Ana hingga bersih. Begitu pula Rino yang telah selesai menyusun tempat duduk mereka. Setelah semua selesai, mereka pergi meninggalkan tempat mereka belajar.

“Cepat Na ! keburu nanti tukang korannya pergi ! “ kata Rino sambil tergesa-gesa. Biasanya tiap pukul 2 siang tuang Koran selalu memarkirkan dagangannya di depan sekolah.

“Ia… ia… “ gegas Ana sambil membereskan barang-barang keperluan sekolahnya untuk dimasikan ke dalam ranselnya.

“Emang mau ngapain sama tukang Koran? Naksirnya sama tukang Koran? “ goda Ana kepada Rino.

“Ya enggak lah! Kamu ni ada ada aja“ balasnya sambil tertawa.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara bel sepeda reok dari tukang Koran. Pertanda dia akan meninggalkan tempat naungan berdagangnya.

“Na,, na,, naa !! tuh tukang korannya mau pergi !” kata Rino sambil berlari. Disusul Ana yang mengejar dari belakang. Tukang Koran semakin menjauh.

“Pak tunggu… Tungguu” kata mereka.
Mereka letih ngos-ngosan mengejar tukang Koran tersebut. Kali ini mereka mengakhiri perjuangan pengejaran terhadap tukang Koran. Namun di sela-sela keletihan yang mendera mereka, terdapat secarik kertas yang jatuh bersamaan tukang Koran yang meninggalkan mereka.

“Rasain tuh tukang Koran ! korannya jatuh. “ kata Ana sambil kesal.
Namun ada yang lain di raut wajah Rino. Tampak bahwa dia sangat terkagum-kagum melihat gambar menara yang ada di dalam selebaran itu. Ungkapan takjub tak henti-hentinya ia ucapkan.

“kenapa No? “ Tanya Ana dengan perasaan yang agak aneh.

“Ini Indah sekali ! Suatu saat aku pasti berada di samping menara ini !” Lantang Rino. Ini baru pertama kalinya ia melontarkan perkataan demikian. Begitu berambisi dan bersemangat.

“Wow,, Eiffel,, ada apa dengan Eiffel tersebut? Apakah kamu ingin kuliah di sana?” Tanya Ana. Mereka berdua sudah memasuki semester 2 kelas 3 SMA. Tinggal beberapa bulan lagi mereka akan menginjakkan kaki di jenjang perkuliahan.

“Ya! Tapi,,,” Rintih Rino. Sesaat dia tertekun. Ia mengghampiri trotoar di dekat jalan dan duduk dengan kesedihan yang dirasakannya. Dia menyadari betul akan perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Mengingat hal tersebut dia kurang berambisi utnuk melaju ke perkuliahan. Dia harus dipaksa berhenti melanjutkan pendidikan dengan alasan ekonomi.

“Kamu kenapa No.? kok kelihatan seperti orang putus asa gitu?” tanya Ana lagi. Dia memahami tentang keadaan perekonomian Rino. “Apa kamu tak mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi?” lanjutnya.

“Ekonomi ku sangat tak mendukung. Aku sekolah di sini saja sudah jadi cemoohan tetanggaku, apalagi kalau kuliah di Paris? Tambah parah mungkin” balasnya. Dia selalu jadi cemoohan tetanggnya mengingat bahwa dia sekolah di SMA ternama di kota itu sedangkan ayahnya cuman sebagai pengumpul kayu bakar.

“Biarkan saja kata mereka. Itu cuman omongan penggodamu untuk menuju sukses. Tentu untuk mendapat kesuksesan tidaklah mudah. Anggap aja mereka bagai angin lalu” Tegas Ana memberikan motivasi kepada teman dekatnya. “Ini Eiffel, bawa lah pulang. Niscaya suatu saat kamu pasti akan berada di sana” lanjutnya sambil memberikan sepotong koran yang jatuh tadi.

Ana pergi meninggalkan Rino di trotoar jalan. Dia dijempu bapak yang baru pulang bekerja dengan menggunakan mobil.

Rino melanjutkan perjalanan pulang. Butuh waktu 20 menit dia berjalan dari sekolah sampai ke rumahnya. Di jalanan ia terustak hentinya memandangi koran kecil yang di dapatnya tadi sambil bergumam.

“Apakah aku bisa? Ekonomiku gimana? Apakah aku sanggup?” menjadi tanda Tanya sendiri bagi RIno melihat peluang yang kecil untuk dapat kuliah di Paris. Jangankan di Paris, melanjutkan perkuliahan aja belum tentu dapat.

“Woi ! anak yang tak tau diuntung !” terdengar suara dari celah langkah kaki Rino. Suara yang tidak asing lagi ia dengar. Itu suara pengendor semangat juang yang lama ia rakit demia sebuah angan.

“Berhenti saja kau sekolah ! tak ada gunanya kau sekolah ! mending kau bantu saja bapakmu nyari kayu!” begitu kata salah seorang dari mereka yang sedang duduk santai di kedai mpok Nara.

“Aku akan hadirkan kebahagian buat orang tuaku lebih dari kebahagian yang kami rasakan sekarang. Aku yakin akan buat senyum kebanggan yang terpancar indah di wajah beliau” begitu jawaban Rino tenang. Dia yakin dengan kegigihannya belajar, dia akan lebih menjadikan orangtuanya bangga. Dia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti menuju tempat ia bernaung.

“Ayah, Aku pulang” Sapaan khas Rino begitu ia sampai di rumahnya. Koran kecil yang ia bawa sejak tadi diletakkannya di atas meja yang berjajar dengan tempat duduk kecil yang terbuat dari batu.

“Ayaaahh” Rino mengulang sapaannya. Tapi belum ada suara balasan yang lembut itu terdengar.

“Ayahh,,,” Rino mengulang lagi. Kali ini ia menyusuri ruangan kecil yang ada di rumahnya. Hingga ia melihat ayahnya terkapar di tempat tidur. Tergesa ia pergi menghampiri ayahnya.

“Ayah kenapa?..” Tanya Rino penuh kekhawatiran.

“Tak apa kok nak, mungkin ayah kecapekan” balas sang ayah.
Demikian tuturan sang ayah yang menyembunyikan penyakit yang dideritanya kepada anaknya. Agar anaknya tidak khawatir. Ayahnya menderita TBC. Dikarenakan uang tidak mencukupi untuk berobat, maka ia urungkan niatnya itu untuk dapat sembuh dari penyakitnya.

Setelah mendengar ucapan sang ayah, Rino mengambil kain sarung untuk menyelimuti ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur. Lalu ia kembali ke kamarnya untuk belajar.
. . .
Hari yang cerah mulai tampak, sekarang waktunya kembali ke sekolah untuk menuntut ilmu. Seperti biasa, suasana di sekolah lagi hiruk piruknya. Sebab keesokan harinya sudah waktunya melaksanakan Ujian Nasional. Semua kelengkapan siswa di razia oleh guru-guru di sana. Namun sebelum pembagian nomor ujian dilaksanakan, sekolah harus dibesrikah, termasuk loka-lokal tiap tingkatan.

“Untung kemaren bersihin kelas, jadinya sekrang kita bias santai-santai” kata Ana sambil tertawa kecil kepada Rino. Karena kelas yang telah dibersihkan kemaren, merekapun lebih awal menerima nomor untuk Ujian Nasional. Setelah selesai pengambilan nomor mereka kembali menuju gerbang sekolah untuk perjalanan pulang sekolah. Tiba-tiba, , , ,

“Duarrrrrrrrrrrrrr” Seperti bunyi ledakan. Namun itu bukan sebuah bom yang meledak. Melainkan sebuah tabrakan yang terjadi di depan sekolah Rino. Bergegas Rino menghampiri pengendara motor remaja yang menabrak sebuah truk yang berisi kelapa sawit. Tidak ada yang menolong si pengendara tersebut kecuali Rino. Rino sangat berang ketika orang sekitar tidak memerdulikan remaja yang bernama Ihsan itu.

“Hei! Kenapa kalian tenang? Tolong dia!” kata Rino sambil mengendong Ihsan menuju rumah sakit yang tidak jauh dari sekolah. Semua orang tidak mau menolong karena Ihsan sering ugal-ugalan di jalanan setempat.
Sesaat kemudian, sampailah mereka di RSUD yang dituju. Ihsan mendapat langsung dimasukan ke dalam UGD.

“Ana, aku pulang dulu ya? Aku harus lihat kondisi ayahku di rumah” kata Rino sambil meninggalkan Ana di rumah sakit. Rino berlari untuk dapat sampai secepat-cepatnya di rumah.

“Ayaah,, aku pulang” Sapaan Rino. Kali ini rumah tampak sepi. Seperti tak bepenghuni. Tanpa pikir panjang Rino langsung terbang ke kamar ayah. Di sana tamoak ayahnya seolah-olah tidur.

“Ayah sudahkah makan?” Tanya Rino. Namun tak ada satu kata yang terucap dari bibir sang ayah. Hingga Rino melontarkan pertanyaan yang sama. Kemudian Rino menyentuh kulit sang ayah. ‘Dingin’

“Dingin, ayah.. ayah…” Teriak Rino ketika mengetahui bahwa ayahnya telah meninggalkan dia menuju sang Khalik. Bagaikan hujan yang lebat di siang hari, air mata Rino tak henti-hentinya mengalir dari pipinya. Berulang kali ia memanggil ayahnya agar ayah dapat menyahut kembali ucapannya.
. . .
Bendera kuning dikibarkan sudah di jalanan sekitar rumah kayu yang dihuni Rino. Pertandakan bahwa seorang yang sangat ia cintai sudah pergi mendahulinya. Sesi pemakaman sudah dilakukan, mulai dari memandikan, mengafani, menyolatkan dan berkahir di kuburan.

Kini Rino hidup seorang diri. Besok ia harus siap menghadapi pertarungan hidup dan mati dalam melaksanakan Ujian Nasional. Tentunya ini cobaan yang sangat berat yang pernah ia rasakan. Ketika ia harus melaksanakan ujian tanpa ada seorang yang selalu mendukungnya untuk dapat fokus dan tenang dalam menjawab soal ujian. Sekarang oran itu sudah tidak ada. Dia sudah menghadap sang pencipta.
. . .
Ujian Nasionalpun selesai digelar. Rino dinyatakan lulus dengan nilai yang sangat baik. Namun walaupun begitu ia tetap bersedih atas kepergian ayahnya. Ia akan putus sekolah dan melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai pengumpul kayu bakar.

“Apa yang harus aku lakukan?” sesaat ia bergumam sendiri di atas kursi batu yang ada di rumahnya. Sepintas ia melihat koran kecil yang ia dapat dahulu.

“Eiffel, aku gak akan pernah ke sana! Sekarang Ayah ku sudah tiada. Aku harus bisa hidup dan melanjutkan hidupku tanpa ayah” keputus asaan yang terlontarkan oleh Rino. Ia membatalkan ambisinya untuk dapat kuliah di Paris.

“Tok tok tok” bunyi ketokan pintu yang terdengar lembut berdengung. Dengan sigap Rino membukakan pintu rumahnya.

“Assalamu’alaikum nak,” sahut seorang bapak yang berjas dan dibelakang beliau terdapat mobil mewah yang mengantarkannya.

“Wa’alaikumsalam pak, Bapak cari siapa?” balas Rino heran.

“Apa betul anak ni namanya Rino? Tanya bapak itu lagi.

“Bapak ke sini ingin berduka cita atas meninggalnya ayah Rino, Bapak juga ikut prihatin atas kondisi Rino sekarang. Namun sebelumnya bapak sangat berterima kasih kepada nak Rino yang telah menyelamatkan putra bapak satu-satunya yang kecelakaan minggu yang lalu. Jika Rino tidak keberatan, Bapak mau jadi ayah angkat Rino. Rino pikirkan baik-baik, bapak akan kuliahkan Rino ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang Rino cita-citakan selama ini,. Kamu mau kuliah di Paris kan? Bapak akan penuhi itu semua” Tegas bapak yang bernama Johan tersebut.

“Terima kasih pak atas kebaikannya. Saya taku merepotkan bapak. Ngomong-ngomong darimana bapak tau kalau saya yang menolong anak bapak?” Tanya Rino heran

“Ana. Anak perempuan bersama nak Rino yang ditinggalkan di rumah sakit itu yang menceritakan. Dia adalah tetangga bapak. Dari dialah bapak tau semua tentang Rino, semua cita-cita Rino dan yang lainnya. Bapak tidak merasa direpotkan jika bapak harus menjadi bapak angkat Rino. Mungkin bapak adalah utusan Tuhan untuk membatu nak Rino sekarang” lanjutnya dengan penuh harapan.
“Terima kasih pak” balas Rino dengan penuh keharuan.
. . .
Akhirnya Rino berhasil masuk ke University of Paris. Berita masuknya Rino ini menjadi Headline News di beberapa media. Bahkan di kampong halamannya, Rino dipuja-puja. Berbanding terbalik saat Rino masih menduduki bangku SMA.

Bapak Johan sekarang berstatus sebagai bapak angkat Rino. Bapak johan adalah pengusaha sukses. Beliau membiayai kuliah Rino yang kini sudah berada di Paris. Tiap hari Rino memberikan kabar lewat Email¬ atau Telepon. Namun walaupun begitu ia tak lupa dengan teman perempuannya Ana yang sekrang kuliah di Institut Teknologi Bandung. Ia mengirimkan pesan melalui surat yang bertandakan Eiffel-ing Love (Aku sayang kamu). Selanjutnya Rino dan Ana merajut tali kasih walaupun mereka berada di tempat yang sangat jauh.

T A M A T